Membatalkan Haji dan Umrah Karena Wabah
APAKAH MUNGKIN MEMBATALKAN RENCANA KEWAJIBAN HAJI DAN UMRAH KARENA WABAH PENYAKIT FLU BABI
Pertanyaan.
Apakah mungkin membatalkan melaksanakan haji dan umrah wajib karena mewabahnya penyakit Flu Babi. Apakah hal itu termasuk tha’un? Apakah Mekkah dan Madinah dalam kondisi aman dari wabah dengan penjagaan Allah atau mungkin juga terjadi penularan penyakit di tempat-tempat seperti ini? Apakah firman Allah Ta’ala : “ Dan barangsiapa yang memasuki (kota Mekkah) maka dia dalam kondisi aman”. Apakah termasuk juga keamanan dari dari wabah penyakit? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas anda dengan pahala. Karena saya akan menunaikan umrah pada bulan-bulan ini
Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa penyakit dan wabah ganas yang tabiatnya dapat menular secara luas dapat diqiyaskan (dianalogikan) dengan penyakit tha’un. Yang masalah hukum dapat dikaitkan dengan masalah ‘isolasi karena faktor kesehatan’.
عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغَ لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الأَجْنَادِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ ، فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِأَرْضِ الشَّأْمِ ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : فَقَالَ عُمَرُ : ادْعُ لِي الْمُهَاجِرِينَ الأَوَّلِينَ فجاء عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رضي الله عنه، وَكَانَ مُتَغَيِّبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ : إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْماً ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : (إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ) رواه البخاري ومسلم
“Dari Abdulllah bin Abbas radhiallahu’anhuma sesungguhnya Umar bin Khatab radhiallahu’anhu pergi menuju negeri Syam. Sampai ketika di Syargha beliau menjumpai panglima pasukan Abu Ubaidah bin Jarrah dan para shahabat. Mereka memberitahukan kepada Umar bahwa telah terjadi wabah penyakit di negara Syam. Ibnu Abbas berkata; Umar berkata: “Panggil para Muhajirin senior menghadapkku, kemudian Abdurrahman bin Auf radhiallahu’anhu datang. Beliau waktu itu tidak hadir karena suatu keperluan, kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya ada aku ketahui dalam masalah ini. Aku mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian mendengarnya (wabah penyakit) di suatu tempat, maka kalian jangan mendekat kepadanya. Kalau telah terjadi (wabah penyakit) di suatu daerah dan kalian berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar lari darinya.” [HR. Bukhari, no. 5397, dan Muslim, no. 2219]
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tha’un adalah nanah yang keluar dari tubuh, terdapat di persendian, ketiak, tangan, jemari dan diseluruh tubuh, disertai bengkak dan sakit sekali. Keluarnya nanah disertai dengan radang, disekitarnya menjadi gosong (menghitam) atau hijau, merah ungu, keruh, disertai jantung berdebar-debar dan muntah”.
Adapun yang dimaksud wabah, Kholil dan lainnya mengatakan bahwa dia adalah tha’un. Ada juga yang mengatakan: Penyakit yang menggejala secara umum. Yang benar adalah apa yang dikatakan para peneliti, bahwa ia adalah penyakit yang banyak menimpa orang-orang di suatu tempat (epidemi) tanpa di tempat lain. Dia berbeda dengan penyakit kebanyakan karena banyaknya penderita. Dan jenis penyakitnya satu, berbeda dengan waktu lain yang penyakitnya bermacam-macam. Mereka mengatakan : Setiap tha’un adalah wabah, dan tidak setiap wabah adalah tha’un. Wabah yang terjadi di Syam pada zaman Umar adalah tha’un. Yaitu tha’un Amwas, desa yang terkenal di Syam.”[1]
Dari sini maka, setiap penyakit ganas yang tabiatnya bisa menular lewat penyakit yang telah Allah tentukan di dalamnya. Maka hukumnya seperti hukum tha’un. Karena syariat (Islam) tidak membedakan di antara dua hal yang sama.
Kedua, : Para ulama mangambil (hukum) dari hadits tadi, bahwa tidak diperkenankan mendatangi daerah yang di dalamnya sedang terjadi wabah (penyakit) ganas yang menular lewat penyakit. Dan tidak (diperkenankan) juga keluar dari daerah yang terkena penyakit. Sebagaimana tampak dari nash tadi.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Dari hadits ini, bagi orang yang ingin memasuki suatu daerah dan dia mengetahui di dalamnya ada penyakit tha’un, dibolehkan baginya untuk kembali. Dan hal itu bukan termasuk tiyarah (merasa bernasib sial). Akan tetapi hal itu merupakan larangan membahayakan diri atau mencegah terjerumus kepada yang negatif (saddu zari’ah). Dan dalam hadits juga terdapat larangan keluar bagi orang yang tinggal di daerah yang terserang wabah tha’un jika dia berada di dalamnya.[2]
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah menggabungkan larangan bagi umatnya untuk memasuki daerah yang ada terserang thaun di dalamnya dengan larangan keluar darinya setelah terjadi. Hal itu merupakan sikap perlindungan yang sempurna. Karena memasuki daerah yang sedang dilanda wabah (thaun) berarti menjerumuskan diri terhadap bencana, mengantarkan seseorang pada sumber wabah tersebut dan membantu seseorang bagi kecelakaan dirinya. Hal ini jelas menyalahi agama dan akal. Bahkan menjauhi untuk memasukinya merupakan bagian dari perlindungan yang (telah) Allah tunjukkan kepadanya. Yaitu perlindungan dari suatu tempat dan udara yang merusak.[3]
Ketiga: Para ulama’ berbeda pendapat tentang maksud keamanan dalam firman Allah Ta’ala “ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا Dan barangsiapa yang memasukinya (Baitullah) maka dia dalam kondisi aman.” (Ali Imran/3: 97) menjadi beberapa pendapat, di antaranya ada yang dapat diterima dan di antaranya ada yang lemah, tidak perlu perhatikan.
Pendapat-pendapat yang lemah atau batil dan (mentafsirkan) makna ayat adalah :
- Pendapat orang yang mengatakan bahwa barangsiapa yang memasukinya (Baitullah), maka dia telah aman dari siksa neraka di Akhirat!
- Pendapat orang yang mengatakan, bahwa orang yang memasukinya akan aman dari kematian di luar Islam.
- Pendapat yang mengatakan bahwa maknanya adalah bahwa orang yang masuk Masjidilharam akan aman dari penyakit.
- Pendapat orang yang mengatakan bahwa arti ayat tersebut adalah aman dari pembunuhan. Karena semua itu telah terjadi secara nyata. Seperti orang maninggal dalam kekafiran, keluar dari Islam padahal dia telah memasuki Masjidilharam, dan adanya penyakit, wabah di dalamnya begitu juga adanya pembunuhan. Hal ini telah terjadi, baik dahulu dan sekarang.
- Dikatakan (pendapat lain) bahwa huruf (من ) di sini untuk yang tidak berakal dan ayat (berkaitan) dengan keamanan dari perburuan.
Sedangkan pendapat-pendapat yang diakui dalam ayat tersebut adalah:
- Arti ayat adalah bahwa keamanan ini terhadap jiwa merupakan tanda-tanda kebesaran Masjidilharam. Karena dahulu di sekitarnya terjadi perampokan, namun orang-orang jahat itu tidak dapat memasukinya. Maksudnya Allah menyebutkan kenikmatan-kenikmatan tersebut kepada orang-orang yang tidak mengetahuinya atau mengingkarinya dari bangsa arab. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok.”[Al-Ankabut/29: 67].
Maka dahulu semasa jahiliyah ketika ada orang yang masuk daerah tersebut dan meminta perlindungan, dia akan aman dari serangan dan pembunuhan.
- Maksudnya adalah, bahwa orang yang masuk pada tahun ‘Umroh Qadha’’ bersama Rasulullah sallallahu’ alaihi wa sallam dia akan aman. Sebagaimana firman Allah:
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ
“Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman,” [Al-Fath/48: 27]
- Ia adalah kabar berita yang bermakna perintah. Kandungannya adalah : ‘Dan barangsiapa yang memasukinya (Baitullah), maka berikanlah dia keamanan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” [Al-Baqarah/2:197]
Yakni jangan berkata jorok (rafats) dan jangan berbuat fasik.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: ‘Ini adalah berita yang punya arti perintah, karena mustahil berita (Allah) Ta’ala tidak sesuai. Dan mungkin berita tentang ajaran dan agamaNya yang telah disyariatkan di dalam (tanah) Haram. Mungkin berita-berita berkaitan dengan perintah yang telah ada dan berlanjut di (tanah) Haram-Nya, baik di zaman Jahiliyah, maupun Islam. Sebagaimana Firman Ta’ala:
أَوَ لَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَماً آمِناً وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok.” [Al-Ankabut/29: 67]
Dan firman lainnya:
وَقَالُوا إِنْ نَتَّبِعِ الْهُدَىٰ مَعَكَ نُتَخَطَّفْ مِنْ أَرْضِنَا ۚ أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَىٰ إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا
“Dan mereka berkata: “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.” Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?.” [Al-Qashas/28: 57].
Selain dari pendapat ini dari pendapat-pendapat yang batil, tidak perlu diperhatikan. Sebagaimana pendapat sebagian orang “Dan barangsiapa yang memasukinya (Baitullah) maka dia akan aman dari neraka”. Pendapat lain “Dia akan aman dari kematian selain Islam”. Atau semisalnya. Berapa banyak orang yang telah memasukinya, namun dia menjadi penghuni keraknya (neraka) Jahim.[4]
Dan pendapat pertama yang disebutkan Ibnu Qayyim adalah yang lebih layak (sesuai) dengan makna ayat.
Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Firman Allah “Dan barangsiapa yang memasukinya (Baitullah) maka dia dalam kondisi aman.” Yakni harus diberi keamanan, artinya bukan tidak terjadi pada seorang pun keburukan, atau tidak akan (ada) pembunuhan. Hal itu justeru pernah terjadi. Akan tetapi maksudnya adalah kewajiban memberikan (jaminan) keamanan bagi orang yang memasukinya (Baitullah) dan tidak menimpa kecelakaan baginya. Perkara ini telah dikenal sejak zaman jahiliah dahulu, hingga ada seseorang menjumpai pembunuh bapak atau saudaranya, namun dia tidak mencelakainya dengan sesuatu sampai orang itu keluar (dari tanah haram).[5]
Dengan demikian, maka maksud keamanan bukan aman dari penyakit dan wabah. Penyakit dan wabah bisa turun di tanah haram Mekkah dan Madinah, hal ini telah dikenal dahulu dan sekarang. Dan telah ada di soal jawab no. 131887. Bahwa Mekkah dan Madinah terjaga dari thaun, namun tidak terjaga dari seluruh wabah dan penyakit secara umum.
Keempat : Kita memuji kepada Allah, bahwa wabah ini tidak sampai di Mekkah atau Madinah, Cuma beberapa kondisi yang terjadi di Saudi Arabia secara umum, sebagaimana terjadi pada kebanyakan negara. Padahal banyak orang-orang shalat dan orang-orang menunaikan umrah. Meskipun begitu, tidak mengapa seseorang mengambil sebab-sebab keselamatan seperti memakai penutup mulut dan hidung (masker) atau lainnya dari sebab-sebab prefentif dari penyakit. Sebagai catatan bahwa media massa membesar-besarkan perkara ini, dan sebagian orang-orang yang iri dan benci mempergunakan (kesempatan ini) untuk menjauhi syiar-syiar Islam. Padahal tempat-tempat pertemuan semisalnya –seperti lapangan sepak bola, konser musik-, namun kami tidak melihat atau mendengar dari mereka memberi peringatan dan menjauhi perkumpulan-perkumpulan itu. Bahkan kebalikannya, kami melihat justeru ada dorongan untuk hadir dan bergabung dalam pertemuan tersebut.
Yang lebih mengherankan lagi adalah sebagian ulama memberikan fatwa tidak dibolehkan pergi haji pada tahun ini, dikarenakan terjadinya sejumlah kasus di Saudi Arabia. Mereka bersikeras bahwa nash (teks) hadits Nabawi dalam masalah thaun tidak boleh diperdepatkan lagi dan hal itu sesuai dengan kondisi ini. Telah tampak penyakit di banyak negara dan kebanyakan mereka telah sembuh. Namun hal itu tidak sampai membuat negara-negara tersebut menutup pintu negaranya.
Kesimpulannya, Ketika suatu negara terkena wabah penyakit Flu Babi atau Thaun, maka hukumnya sama, tidak ada perbedaan antara Pemerintahan Saudi Arabia dan lainnya. Akan tetapi mentetapkan status tersebut bukan atau tidak diserahkan kepada setiap orang, akan tetapi oleh pihak terkait yang berwewenang yang dapat mengumumkan terjadinya wabah di sebuah daerah. Maka, ketika itu (jika telah ada pengumuman resmi terjadinya wabah di sebuah daerah) kita terapkan hukum syariat, (orang yang berada di luar) dilarang memasukinya dan orang (yang berada di dalam) dilarang keluar darinya. Hendaknya jangan tergesa-gesa mengambil keputusan untuk pembatalan haji atau umrah, sebelum diadakan dikaji oleh para Dokter sepesialis kemudian dijadikan pedoman oleh para ulama kita untuk mengeluarkan fatwa berkaitan dengan masalah ini.
Doktor Ahmad Ar-Risuny –pakar di Majma Al-Fiqhi Al-Islamy, “Ketetapan pembatalan umrah di Bulan Ramadan atau musim haji depan karena Flu Babi harus dikembalikan kepada para Dokter spesialis muslim.”
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya Konferensi Dunia Islam dan Lembaga Fiqih Islam Internasional, dituntut untuk mengadakan pertemuan dalam masalah ini dengan para dokter muslim dari berbagai negara Islam untuk mempelajari kondisi dan memprediksikan berbagai kemungkinan serta mengeluarkan rekomendasi mereka. Lalu hasilnya akan dijadikan sebagai landasan bagi Lembaga Fiqih Islam atau Badan Fiqih untuk membentuk panitia untuk tujuan apakah kondisinya sudah sampai tingkat darurat untuk membatalkan dua syi’ar ini (haji dan umrah)”.
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya kesimpulan para dokter non Islam dari Amerika, Kanada atau lainnya tidak cukup (untuk mengambil keputusan). Karena masalah ini berkaitan dengan dunia Islam, dan para jama’ah haji dan umrah datang dari (negara) tersebut. Begitu juga terkait dengan perbandingan antara kewajiban haji dan syiar umrah serta kedudukan keduanya dengan perkiraan terjadinya bahaya serta menyebarnya wabah”.
Beliau juga berkata: “Kalau para dokter-dokter muslim telah menetapkan bahwa ada kemungkinan besar wabah akan tersebar lewat berkumpulnya jamaah haji dan umrah, maka seluruh negara Islam diharuskan waktu itu terutama Pemerintahan Saudi Arabia, untuk membuat langkah-langkah yang tepat untuk menghentikan perkumpalan-perkumpulan (ini), dan menundanya hingga wabah tersebut hilang”.
Dia berkata: “Sesunguhnya langkah-langkah (semacam ini), tidak diragukan lagi kebenaran dan kewajibannya, karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu semua mencampakkan diri kamu semua kepada kebinasaan.” Dan Rasulullah sallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: “Jika wabah atau thaun- melanda suatu daerah, maka maka kalian jangan keluar dan jangan memasukinya.” Begitu juga Umar Radhiyallahu’anhu menghentikan perjalanan semua tentara ketika berangkat ke arah Syam ketika beliau mengetahui bahwa di sana sedang terjadi wabah dan Thaun.
Beliau menambahkan: “Namun jangan sampai tergesa-gesa, akan tetapi hendaknya membuat langkah-langkah yang tepat, dimulai dengan membuat laporan dan predeksi para dokter spesialis secara kolektif, lalu diakhiri dengan fatwa pata ahli fiqih. Kemudian ditetapkan oleh para pejabat politik di negara-negara tertentu, khususnya Pemerintahan Saudi Arabia”
Demikian ungkapan beliau di websitenya : http://www.raissouni.org/affdetail.asp?codelangue=6&info=300
Nasehat kepada penanya, hendaklah bertawakkal kepada Allah dan pergilah untuk menunaikan umrah dan haji. Ambillah sebab-sebab keselamatan seperti telah dijelaskan, kecuali jika benar terbukti –semoga Allah tidak mentakdirkannya – apa yang mencegahnya untuk memasuki tanah haram yang tampak dari fatwa ulama terpercaya (maka ketika itu anda boleh mengurungkan untuk umrah atau haji). Hanya Allah harapan kami agar menjaga kami dan anda dari semua kecelakaan dan keburukan
Walllahu ’alam
Sumber : islamqa
_______
Footnote
[1] Syarh An-Nawawi, 14/204
[2] Fathul Bari, 10/186-187.
[3] Zadul Maad, 4/42-44
[4] Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, 3/445
[5] Fatawa Syekh Bin Baz, 3/380
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14663-membatalkan-haji-dan-umrah-karena-wabah.html